Dahulu kala, di suatu negri nan jauh, dimulailah sebuah cerita. Sebuah cerita tentang anak gadis kecil yang tinggal di suatu desa kecil namun indah. Hidupnya nyaman dan tenang bersama neneknya yang sudah tua namun bersedia berjuang dan bekerja keras demi dirinya. Meskipun hidupnya berkecukupan dan penuh kasih sayang, gadis kecil itu terus menerus merasa bahwa dalam hidupnya ada sesuatu yang kurang, sesuatu yang tidak dia tahu apa itu.
Yang tidak ia miliki hanyalah teman, tentunya selain neneknya. Ia ingin sekali memiliki teman yang mengasihinya. Satu hal lagi, ia juga ingin bisa melindungi dan dilindungi teman yang ia harapkan. Suatu hari, ia mencoba mencari teman di sekitar hutan. Ia berharap dapat menemukan teman, yang akan menyayanginya seperti ia akan menyayanginya. Berjalan makin jauh ke dalam hutan. Pohon-pohon bergemerisik.
“Hup!” Ada sesosok bayangan yang meloncat ke tengah. Ternyata ia adalah seekor kera yang lucu. Siapa tahu dia bisa menjadi teman yang baik baginya?
“Hai, kera yang manis. Apa yang sedang kau lakukan? Mengapa kau meloncat?” tanya gadis itu dengan mimik wajah yang imut sekali.
“Huh! Apa pedulimu? Aku mau meloncat ya aku loncat. Aku mau tidur ya tidur. Mengapa kau jadi lebih sibuk?” jawab kera sangat tidak bersahabat.
“Maaf menganggu,” ucap gadis kecil itu, melewati sang kera sombong dan melanjutkan perjalanan mencari temannya.
Gadis itu terus masuk ke hutan lebih dalam. Pohon-pohon begitu tinggi dan daunnya sangat rindang, kera-kera meloncat, bermain, dan bergelantungan di dahan-dahan pohon. Bisa dilihat oleh sang gadis bahwa kera-kera itu sudah memiliki teman-teman mereka sendiri, satu jenis. Pikiran gadis itu menerawang, mengingat-ingat kejadian yang sama, di desanya, tidak ada gadis kecil selain dirinya, anak-anak kecil yang ada hanya laki-laki, anak gadis tidak ada lagi yang seumur dengannya sehingga tidak ada yang mau bermain dengannya. Pernah suatu kali dirinya berusaha ikut bermain dengan anak laki-laki seumurnya, tapi langsung diusir dan dia terlalu segan bermain dengan anak gadis karena umur yang berjarak jauh.
Akhirnya, ia sampai pada suatu danau yang sangat besar. Ia merenung setelah duduk di tepi danau. Ia melihat bayangan dirinya yang tercermin pada air danau yang bening. Danau itu memamerkan wajah kecil dengan mata bulat, hidung mancung, dan bibir tipis, dihiasi dengan rambut sebahu yang lurus. Wajah itu memang manis, tetapi tetap tidak dapat menutupi aura murungnya. Oh, mengapa tidak ada yang mau berteman denganku? Apakah aku anak yang jahat?
Tik, tik, tik, tiga tetes air jatuh ke danai. Gadis itu menatap ke atas. Langit menjatuhkan air ke pipinya. Tangan gadis itu mengusap wajahnya pelan-pelan. Apakah langit juga bersedih untukku?
Ia bangkit berdiri, mencoba berteduh di bawah pohon. Hujan mulai bertambah deras.
“Ergh... Ergh...” Terdengar geraman tak jauh dari gadis itu. Ia mendekat, hingga saat pembuat suara mengerikan itu tampil di depan gadis itu.
“Ahhhh...” Gadis itu berteriak kencang, tak mampu lagi menahan keterkejutannya. Bagaimana tidak? Seekor singa coklat yang besar muncul di depannya.
Gadis itu takut. Dia pernah mendengar cerita bahwa seorang anak kecil pernah digigit oleh seekor binatang yang besar di hutan. Mereka menyebutnya dengan singa. Dia berbulu lebat di sekitar kepalanya. Dan bisa dilihat oleh gadis itu bahwa gambaran yang pernah diceritakan oleh neneknya. Sang gadis benar-benar tidak tahu bahwa dia akan menemui singa secepat ini.
Singa itu berbicara, menggeram, “Cepat pergi!!”
“Kenapa?” balas si gadis, memberanikan dirinya.
“Kamu tidak seharusnya berada disini! Ini wilayahku! Hutan ini milikku, manusia tidak diizinkan disini!”
“Kenapa?” tanyanya lagi.
“Kaummu hanya ingin menyakiti kaumku! Kalian telah melukai anakku! Pergiii..!!” Dia mengaum. Gadis kecil itu mundur selangkah, siap bila akan diserang. Air matanya mulai menggenang di matanya namun berhasil ditahannya. Singa besar itu melihatnya. Suaranya melembut. “Sebenarnya, untuk apa dirimu datang?”
Gadis itu maju selangkah, mulai berani menghadapi singa. “Aku ingin mencari teman.”
“Teman?” ucapnya lembut. “Aku juga mengenal seekor kucing yang sedang mencari teman. Kebetulan sekali.”
“Kucing? Seekor kucing? Apa kau yakin ia ingin mencari teman?” tanya gadis itu ragu karena ia tak mau lagi ditolak.
“Benar. Kalau kau tidak menemukannya, aku akan mempersilakanmu menyantap daging keempat kakiku.”
“Boleh aku tahu siapa nama kucing itu?”
“Maisa,” jawabnya singkat. “Sekarang, mari kuantarkan kau melihatnya. Saat ini, mungkin dia sedang bermain bersama anak-anakku.”
Perjalanan menemui kucing itu cukup jauh, letaknya lebih masuk lagi ke dalam hutan. Si gadis kecil mengikuti singa dari belakang. Perlahan-lahan, dia mulai menanyakan apa yang sejak tadi ingin diketahuinya, “Kenapa kau sangat buruk dalam menilai manusia?”
“Ya, bagaimana lagi?! Ini semua karena kaummu! Kalau manusia tidak membunuh anakku, mungkin aku tidak akan membencinya,” jawabnya.
“Jadi, apa kau membenciku, singa?” tanya gadis itu masih dengan polos.
“Aku, membencimu?” Ia malah bertanya balik.
“Iya, apa kau membenciku?”
Singa terdiam sesaat sambil terus berjalan. Perlahan, dia mulai menjawab, “Tidak... Kurasa aku tidak membencimu... Kau tidak menyakitiku, aku tidak akan menyakitimu...” Dia terhenti sejenak. “Kita sudah sampai.”
“Terima kasih, singa yang baik, karena kau sudah mengantarku. Aku sudah menanggap kau sebagai temanku yang baik,” kata gadis itu sambil mengelus kepala singa itu.
“Ya, ya, ya. Kucing siam itu sudah menunggu.”
“Oh, ternyata ia adalah seekor kucing siam. Pasti ia sangat cantik.”
“Sudahlah, gadis kecil. Kau lebih baik langsung melihatnya sendiri.”
Saat gadis itu berjalan ke belakang pohon pinus, ia terkejut melihat seekor kucing yang sangat cantik, juga anggun. Kucing siam itu sedang bermain dengan riang bersama para anak-anak singa.
“Maisa,” ucap gadis itu memanggil kucing siam.
“Ya.” Kucing siam itu menoleh.
“Kau, Maisa kan?” Terlalu gugupnya, gadis itu ragu-ragu bertanya.
“Iya, apa aku mengenalmu?”
“Tidak.” Gadis itu tersenyum senang, melihat kucing yang akan segera menjadi temannya. “Tapi, mulai dari sekarang, aku ingin lebih mengenalmu. Apakah aku boleh menjadi temanmu?”
Kucing siam itu mendekati sang gadis. Senyumnya merekah lebar. “Kurasa, pertemanan kita dapat dimulai dengan sebuah nama. Aku Maisa.”
Gadis itu membalas senyumnya. “Namaku Sasna. Aku sedang mencari teman dan aku diberitahu oleh singa bahwa kau juga sedang mencari teman. Benarkah? Bukankah disini kau sudah memiliki banyak teman?”
“Memang banyak, tapi mereka sudah memiliki kelompoknya sendiri. Aku hanya seekor kucing kecil yang berusaha masuk dalam kelompok mereka, namun aku tahu bahwa kami tidaklah cocok.”
“Nasib kita sama kok. Bedanya aku punya kelompok manusia. Namun mereka tidak mau berteman denganku, karena mereka semua laki-laki dan aku perempuan,” kata Sasna.
Pohon-pohon mengeluarkan bunyi gemerisik. Terasa ada sesuatu yang besar datang. “Hahahaha!!”
“Aaaaaa...” Semua yang ada disana berteriak takut.
Sesosok gorila besar mucul di hadapan mereka.
“Ini adalah gorila paling jahat di hutan ini. Hati-hati, Sasna,” kata Maisa mengingatkan.
Semua anak-anak ketakutan. Mereka berkumpul menjadi satu kelompok. Berhenti bermain dan berharap agar orang tua akan segera datang dan mengusir gorila menakutkan itu pergi. Baru saja gorila ingin mendekati kumpulan anak-anak itu, singa yang ditemui Sasna tadi muncul di depan gorila tersebut.
Merasa kesal, gorila itu langsung melompat dan menginjak singa itu, lalu mengebuk-gebuk sang singa. Singa itu tak mau kalah begitu saja. Ia mengamuk dan mengeluarkan suara jantan khasnya. Singa itu dengan kasar mengigit kaki gorila itu, mengeluarkan darah kental.
“Pergi dan jangan pernah kembali untuk menganggu kami!” bentaknya geram.
Gorila itu pun meringis kesakitan, memandang para binatang, juga Sasna satu persatu dengan tajam. Gorila itu pun langsung jongkok, memasang rupa memohon.
“Maafkan aku.” Gorila itu memelas.
“Sebenarnya aku ingin bermain bersama kalian, tetapi aku malu. Jadi, karena aku kesal melihat kalian bermain dengan riang, aku jadi menganggu kalian,” katanya sedih.
Sasna berjalan mendekati gorila itu, gadis itu mengelus-elus kaki gorila besar itu. “Aku mengerti. Mulai sekarang, kamu bisa bermain bersama kami. Ya kan Maisa?” Wajahnya beralih ke Maisa.
“Iya, tapi mungkin mulai besok aku tidak bisa kemari lagi. Majikanku akan membawaku kembali ke Persia.”
“Apa? Bukankah kata singa itu kau tidak mempunyai teman? Kok kau bisa memiliki majikan?” tanya gadis itu binggung.
“Memang baru hari ini aku bisa bermain bersama anak-anak singa, setelah induk singa menganjurkanku. Namun, sesungguhnya majikanku menitipkanku disini karena ia ada keperluan yang tidak bisa menyertaiku. Begitulah, maaf ya Sasna,” ucap Maisa sedih.
“Tak apa-apa. Kini aku akan sering-sering bermain ke hutan ini, karena semua yang ada disini adalah temanku.” Gadis itu tersenyum pahit. “Benar kan singa? Anak-anak singa? Gorila?”
“Tentu saja,” kata mereka serempak.
“Sekali lagi, maafkan aku Sasna,” ucap Maisa.
“Tidak apa-apa, Maisa...” Sasna pun tersenyum tulus. “Kita kan masih bisa bertemu lagi disini.”
Saat itu, mereka semua bermain dengan riang. Ketika malam menjemput, mereka pulang ke tempatnya masing-masing. Saat waktu bermain tiba keesokan harinya, mereka pun kembali berkumpul bersama dan bersenang-senang. Mungkin mereka tidak selalu bersama di tempat yang sama, namun hati mereka telah terikat bersama.
3 – 06/02/08
09.07
-CaSh-