Thursday, January 31, 2008

Makan Tuh Cinta!!!

Aku berjalan tegak, sambil menenteng tas tanganku di koridor antara toko-toko mewah dalam mall. Tidak ada diantara toko-toko ini yang tidak pernah kumasuki. Ketika aku berdiri di depan salah satu toko-toko itu, penjaga toko akan dengan hormat langsung membukakan pintu untukku. Bukan hormat padaku, mereka hormat pada uang yang kumiliki dan meski bukan diriku yang dihormati, aku merasa cukup terhormat karena memiliki uang yang cukup banyak untuk membuat orang-orang menjadi hormat padaku. Saat ini, aku membelanjakan uang Ayahku dan suatu saat nanti, aku akan memiliki suami yang mengatakan, “Uang memang sudah seharusnya dibelanjakan.”

Aku terus berjalan optimis melihat ke depan, tidak melihat ke arah lain sama sekali. Mataku terfokus pada toko Chanel yang sudah ada di depan mataku. Aku menambah kecepatan langkah kakiku. Lalu tanpa sadar aku menabrak seseorang dengan keras. Karena kecepatan berjalanku tadi, tabrakkan kami membuat aku dan dirinya jatuh tersungkur. “Aww,” kataku mengaduh dan segera berdiri memperbaiki posisiku. Ternyata seseorang yang kutabrak adalah pria bertubuh tinggi tegap, dengan wajah lumayan. Ia mengenakan polo shirt dengan motif garis-garis berwarna biru dan hitam, ditambah dengan celana jeans selutut, lalu ditutup dengan sepatu sport putih merk Reebok.

“Lu itu aneh ya, kata maaf lu bukan ‘sori’, tapi ‘aww’. Tampang lu bukan tampang bersalah tapi malah ngeliatin gue dari atas sampai bawah!” katanya angkuh.

“Sori.. tadi gue cuman refleks.. sekali lagi gue minta maaf yah..,” ucapku sambil memungut tas-tas belanjaanku yang tergeletak berserakan di lantai.

“Oke.. untung masih sadar diri lu!” ucapnya, berlalu meninggalkanku tanpa membantu sama sekali.

Aku kembali memungut barang-barang yang keluar dari tas belanjaanku dan segera meninggalkan tempat kejadian sial itu menuju parkiran, tidak jadi memasuki Chanel.

Aku baru saja memasuki pelataran parkir sambil mencari-cari kunci mobilku di dalam tas ketika aku ―lagi-lagi― menabrak seseorang, yang untungnya kali ini aku tidak sampai terjatuh. Kenapa sih harus menabrak dua orang di jam yang sama?, omelku dalam hati sambil mengangkat kepala, bersiap meminta maaf sebelum dimaki-maki seperti kejadian sebelumnya. “Sori,” ucapku pada punggung seseorang, ternyata yang kutabrak juga baru masuk ke pelataran parkir.

Laki-laki itu berbalik dan aku masih ingat dengan jelas bahwa dia adalah orang yang sama dengan yang kutabrak sebelumnya. “Ya ampun,” ucapnya mengesalkan hati. “Kok bisa ya ngeliat lu lagi? Lu tuh tukang nabrak ya?”

Aku berusaha untuk tidak terpancing marah olehnya. “Gue uda minta maaf kali. Ga perlu kesel kayak begitu, kan?”

“Emang udah minta maaf, tapi lebih bagus lagi tuh, lu ga usah nabrak,” ucapnya makin menyebalkan, kemudian melenggang pergi dari hadapanku.

Sebelum dapat kutahan lagi, tanganku bergerak memegang kantong belanjaan dan melemparkannya ke arah laki-laki menyebalkan itu hingga mengenai punggungnya ―yang meleset dari sasaranku yang pertama yaitu kepalanya. Laki-laki itu berbalik dan sebelum dirinya sempat memaki lebih banyak lagi, aku mendahuluinya memaki, “Lu tuh orang yang nyebelin banget ya? Ga minta maaf, ngomel. Pas dengan bae hati gue minta maaf, lu juga ngomel. Dasar tukang ngomel! Manusia ga tau senyum!” Aku berhenti sejenak, memikirkan omelanku selanjutnya. “Kalo ga mau ketabrak, ga usa ke tempat yang orangnya rame aja sekalian.”

Aku menatap orang itu, sebal. Sudah lama sekali tidak pernah mengomel-omel. Ketika kekesalanku mereda, aku menatap kantong belanjaan yang tergeletak di depan kaki orang itu. Baru kusadari bahwa kantong yang kulempar berisi sepatu pesta untuk malam nanti.

Lalu, dengan raut wajah yang licik, ia mengambil kantong belanjaanku itu. Aku menatapnya dengan garang. “Mau ngapain lu ambil-ambil belanjaan gue?” tanyaku sebal.

“Lu kan udah nggak mau lagi nih barang sampe lo lempar sembarang. Daripada barang lu mubazir, mendingan gue ambil kan?” Ia balik bertanya.

“Udah ah, buang-buang waktu aja disini ama lu, thanks yah!” tambahnya.

Ia pun melenggang pergi dengan gaya sok superstar namun berwajah pas-pasan. Oh ya! Aku harus mengambil sepatuku kembali. Aku mengejarnya namun di gedung parkir yang tidak terlalu terang, dan banyak mobilnya ini menyulitkanku menemukannya. Sial, lihat saja. Nanti kalau aku bertemu dia lagi. Huh, aku pasti akan menjitak kepalanya sebanyak tiga kali dengan hak sepatuku.


Malamnya di pesta,

Pesta pertunangan anak salah satu relasi papa cukup menyenangkan. Pesta ini diadakan di kebun rumahnya sendiri yang memang cukup luas untuk diadakan pesta. Aku berkeliling kebun sambil sedikit-sedikit meneguk anggur yang terasa asam di lidah namun hangat di tenggorokan. Hmm, aku menikmati malam ini.

Aku berjalan menyusuri tiap sudut kebun ini. Tak terasa, kakiku melangkah keluar menuju ruang utama, ruang makan, kuamati tiap sisi seluruh rumah ini. Tetap berjalan layaknya model di atas catwalk. Hmm.. hingga aku tertegun menatap satu pintu yang membuatku merasa berbeda dengan pintu-pintu lainnya...

Diriku mencoba mendekati pintu yang membuatku penasaran. Pintu yang membuatku ingin segera membuang dan melihat apa sebenarnya isi dibalik ruangan itu. Memang, pintu itu terlihat seperti sebuah kamar laki-laki yang boyish dan gentle dengan pernak-pernik bertuliskan “Heroes Zone”, “Don’t Enter”, “Superman”.. hmm.. seperti kebanyakan laki-laki yang ada di muka bumi ini. Hmm.. setelah kupikir-pikir nothing special in this room, aku segera mengurungkan niatku untuk membuka pintu itu dan membalikkan badanku secepat mungkin dan kembali ke pesta sebelum seseorang curiga melihatku disini. Hmm.. ngomong-ngomong entah apa yang ada di otakku sehingga membuatku merasa begitu tertarik dengan pintu tersebut. Hmm.. ahh.. forget it!

Aku segera berjalan cepat dengan tidak lupa gaya khasku ketika berjalan dengan angkuhnya ―meskipun merasa aku tidak angkuh― tanpa memandang sekelilingku.

“Eits!!!” Aku langsung menatap ke depan, keluar dari pikiranku sendiri dan menemukan sosok yang sebelumnya mengambil sepatuku. Diriku langsung berhenti berjalan, menatapnya dengan menantang, meski kalau dia tidak muncul lagi, mungkin aku tidak akan mengingatnya lagi.

“Ngapain lu ada disitu?”

“Ikh... Kenapa lu harus tau?” balasku sinis, padahal suasana pesta masih kurasakan beberapa detik yang lalu. Aku berjalan cepat, melewatinya. Baru kusadari bahwa tubuhnya benar-benar tinggi, kepalaku saja tidak sampai setinggi bahunya.

“Apa?” ucapnya lagi dengan sinis. Ternyata, tanpa kusadari, aku berhenti dan menatapi perbedaan tinggi tubuhnya dan tubuhku. “Lu seneng banget ngeliatin orang ya?”

Rona merah mulai merambati wajahku, membuatku salah tingkah. “Ngga, sori.” Aku berjalan kembali.

Ketika sudah keluar dari dalam rumah, aku segera menuju ke bar, mengisi kembali gelas anggurku. Tidak pernah terpikir olehku sebelumnya bahwa seseorang dapat membuatku malu seperti itu, bahkan hingga menyebabkan diriku salah tingkah. Kusandarkan punggungku ke meja bar dan memandangi pasangan bahagia yang baru saja bertunangan itu. Tanpa kusadari, pikiranku melayang ke keadaan diriku sendiri. Aku wanita lajang, berumur 23 tahun, mungkin bagi orang barat, lajang di umurmu yang baru berkepala dua sama sekali tidak ada masalah, namun bagi orang disekelilingku, yang merupakan orang timur, lajang ketika umurmu sudah 23 tahun berarti tanda-tanda bahwa kau akan menjadi perawan tua. Diriku tersenyum sekilas ketika pikiran menjadi perawan tua melintas dalam pikiranku. Kebun, malam hari, dua pasangan bahagia, bunga-bunga, semuanya terasa begitu romantis, atau itu pengaruh anggur yang kuminum hingga aku menjadi begitu sensitif saat-saat ini? Sambil memikirkan begitu banyak hal, tanpa terasa, gelasku terus kuisi dengan anggur dan sayangnya, saat ini aku lupa bahwa aku tidak sanggup meminum lebih dari tiga gelas tanpa menjadi mabuk. Saat ini, entah berapa banyak gelas yang sudah kutengak.

Pandanganku mulai berbayang-bayang dan tanah mulai terasa bergoyang ketika sepasang lengan menopang tubuhku dari belakang. Aku tersenyum, berusaha berdiri tegak, lalu menatap ke belakang, aku tak mampu melihat jelas, wajah di depanku terlalu berbayang-bayang. “Makasih.” dan perlahan-lahan, gelap mulai menggantikan bayang-bayang.

***

Kepalaku terasa berat ketika kubuka mataku perlahan-lahan. Diriku terdiam sejenak dan mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya. Kesal, anggur, lajang, anggur, bayang-bayang, terima kasih, gelap.

Kuedarkan mataku ke sekeliling. Aku berada di sebuah kamar, tertidur di ranjang yang empuk, dan... Oh, tidak! Ini bukan kamarku! Aku langsung terduduk dan ―mengingat apa yang biasanya terjadi di film-film― aku menengok ke sebelahku, berharap tidak akan menemukan sosok lelaki atau apapun.

Piuhh!! Aku menghembuskan napas lega, tidak ada sosok apapun, aku sendiri di dalam kamar ini. Aku mulai tertawa, menertawakan pikiran paranoidku, sepertinya aku masih terpengaruh anggur yang tadi. Kubaringkan lagi tubuhku dan berusaha tertidur lagi, kepalaku terlalu berat untuk melakukan apapun saat ini.

Baru saja kututup mataku, aku mendengar suara pintu terbuka kemudian menutup kembali. Sepertinya seseorang baru saja keluar dari kamar mandi, yang pintunya tadi sempat kulihat. Kutahan napasku, takut bila yang ternyata membuka atau menutup pintu tidaklah berwujud.

Aku terus mendengarkan suara hingga seseorang menggoyangkan tubuhku. Aku tetap diam. Kemudian punggung tangan seseorang menempel di dahiku, mengecek suhu tubuhku, lalu selimut yang menutupi tubuhku dinaikkannya hingga menutupi bahuku. Dan saat itulah, aku membuka mata dan melihat sosok yang dari tadi bergerak, laki-laki yang dari kemarin terus menerus kutemui.

Dia melihatku, mata kami saling bertemu dengan yang lainnya. Perlahan-lahan, entah apa yang menggerakkan diriku dan dirinya, bibir kami pun bertemu.

***

Aku merasa linglung saat ini. Tidak begitu jelas, kulihat sesosok tubuh ―Ahh!! Telanjang. Hah, dia! Pria itu, aku baru ingat. Tadi malam, kami melakukan.... Aku tak mampu mengungkapkannya. Ia bergerak turun dari ranjang dan berdiri menghadap ke arahku.

“Gue mandi dulu.” Ia pamit lalu segera berlalu menuju kamar mandi.

Aku mencoba merenung. Apa yang harus kulakukan setelah ini? Aku juga tak akan mungkin menyalahkannya dalam peristiwa ini. Ini terjadi karena kami sama-sama menginginkannya. Aku berpikir begitu lama sampai tak terasa pria-yang-telah-bercinta-denganku-namun-bahkan-aku-tak-tahu-namanya sudah kembali dari kamar mandi. Ia tampak segar dengan kaus oblong putih dan celana pendek berwarna hitam.

“Gue tunggu di luar ya,” katanya. Aku tahu kalimat simpel itu menandakan bahwa ia ingin aku segera mandi, lalu bertemu untuk berbicara dengannya di luar.

Maka aku pun langsung bergerak ke kamar mandi. Setelah beberapa saat menyegarkan diri dengan air, sampo, dan sabun, aku pun keluar dari kamar mandi dengan sudah berpakaian lengkap, pakaian yang kemarin kukenakan. Aku lalu berjalan keluar dari kamar. Di ruang tamu, ternyata tidak ada orang sama sekali. Aku melanjutkan berjalan menuju ke ruang makan. Kutemukan ia sedang duduk rapi di meja makan sambil menikmati sarapannya, mi instant goreng dan minumnya orange juice. Ia menatapku.

“Lu mau sarapan?” tawarnya padaku.

“Nggak, gue mau ngomong sama lu aja,” kataku. Aku sebenarnya lapar, tapi menurutku mie instant bukan makanan yang sehat untuk sarapan.

“Mau ngomong apa?” tanyanya langsung.

“Apa ini rumah lu?” Aku bertanya balik.

“Rumah orang tua gue.”

“Trus orang tua lu mana?”

“Ke luar negri.”

“Kakak ato adik lu?”

“Nggak punya.”

“Pembantu?”

“Nggak ada.”

“Jadi kita cuma berdua disini?”

“Iya. Sekarang giliran gue yang nanya.”

“Gak! Pertanyaan gue belom selese.. kenapa lu ngelakuin ini semua ke gue?”

“Sori.. kalo masalah kemaren.. gue ga sadar. Tiba-tiba terjadi..,” jawabnya singkat dan terkesan cuek.

“Trus apa yang mesti kita lakuin?”

“Gue akan tanggung jawab!”

“Hah? Enak banget lu ngomong! Lu kira gue mau apa nikah sama lu? Trus atas dasar apa lu mau sama gue?” balasku ketus.

“Cinta... Dari awal ketemu sama lu, sebenernya gue udah suka sama lu.. tapi gue gak tau ngungkapinnya gimana...”

“Hah? Lu cinta sama gue? Emang lu pikir buat bangun keluarga cukup pake cinta doank?? Duit tuh paling penting!! Kalo ga ada duit gimana mau hidup?? Makan tuh cinta!!”

“Matre banget sih lu jadi cewek!!”

“Ya udahlah lupain aja masalah ini.. gue gak nyuruh lu tanggung jawab.. ini juga gara-gara kesalahan gue juga.. lebih baik anggep ga terjadi apa-apa selama ini.. Ok?? Mulai sekarang kita pura-pura tidak kenal satu sama lain!” ucapku sambil berlalu meninggalkan ruang makan serta rumah busuk sialan itu.

4 – 24/01/08
??.??

-JuCaSh-

No comments: