Friday, May 1, 2009

Ujian Praktik Bahasa Indonesia (Selasa, 28 April 2009)

Membaca Buku Fiksi untuk Lebih Memahami Materi Pelajaran Sekolah

Selamat pagi Bapak Bambang dan teman-teman sekalian. Puji dan syukur saya panjatkan pada Tuhan karena telah mengumpulkan kita semua disini dan menyempatkan saya menyampaikan pidato saya. Saat ini saya akan berbicara mengenai pentingnya membaca buku fiksi dalam rangka memperdalam pemahaman dalam kegiatan belajar di sekolah.
Seperti yang kita ketahui, sumber utama dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yaitu bahan yang diberikan oleh guru dan buku pelajaran sekolah. Sayangnya, bahan-bahan tersebut ditambah dengan tugas yang telah diberikan biasanya tidak benar-benar mampu memberikan pemahaman mengenai materi yang dipelajari. Terlebih lagi bila dalam mengerjakan tugas yang diberikan, siswa hanya meng-‘copy-paste’ dari internet karena bahan yang tersedia sulit dipahami dengan bahasanya yang baku.
Berbeda dengan hal tersebut, membaca buku fiksi merupakan hobi mayoritas murid, tidak terbatas pada kalangan tertentu, murid laki-laki dan perempuan gemar membacanya. Mulai dari komik hingga novel yang tebalnya ribuan halaman terus menerus dibaca secara berkala, tidak seperti buku-buku non-fiksi.
Meskipun mayoritas orang tua murid menganggap membaca buku fiksi tidak berguna, pada kenyataannya, dengan buku-buku itulah kita menjadi lebih mampu memahami materi pelajaran. Sebagai contohnya, komik Buddha yang menggambarkan perjalanan hidup Buddha. Kita tidak hanya melihat gambar namun secara tidak langsung juga melihat bahasa digunakan sedemikian rupa, teknik gambar yang digunakan, latar tempat atau situasi pada zaman tersebut, interaksi antar individu yang terjadi saat itu, norma yang berlaku serta hal-hal menarik lainnya. Dari semua itu, kita dapat lebih memahami bahwa pelajaran bahasa tidak lagi sekadar membahas majas-majas, pelajaran seni tidak lagi sekadar goresan-goresan tak berarti, pelajaran sejarah tidak lagi sekadar omong kosong latar belakang suatu peristiwa dan embel-embelnya, sosiologi tidak lagi sekadar teori-teori tak bermakna, geografi tidak lagi sekadar relief tak nyata.
Contoh lainnya yaitu novel Sang Maharani oleh Agnes Jessica yang menceritakan seorang perempuan keturunan Indonesia Belanda yang menjadi jugun ianfu. Meskipun novel itu ‘hanya’ sebuah novel roman sejarah, kita dapat mempelajari secara lebih jelas bagaimana keadaan sebelum dan sesudah Jepang masuk ke Indonesia, keadaan Jakarta tempo dulu, sistem norma dan budaya di Indonesia zaman dulu serta hal-hal teknis lainnya seperti penggunaan bahasa dalam membuat suatu cerita. Novel fantasi terjemahan seperti Harry Potter juga mampu mengajarkan kita sesuatu seperti bagaimana keadaan negara Inggris, cuacanya, penduduknya, kebiasaannya, teknologinya, selain memberikan kita pesan moral dan suguhan cerita yang menarik untuk dibaca. Di samping itu, novel-novel terjemahan lainnya juga membuat kita lebih mengenal dan memahami keadaan di luar negeri.
Sayangnya, meskipun membaca buku fiksi memberikan banyak manfaat, sekolah kurang memberikan akses pada buku-buku tersebut. Anggaran untuk buku fiksi dibatasi hingga seminim mungkin dan dialihkan untuk buku non-fiksi. Padahal, kalau ditelaah lagi, bukankah lebih baik memberikan akses lebih pada buku fiksi yang secara nyata lebih banyak dibaca dan diminati serta berguna daripada pada buku non-fiksi yang meskipun jelas bermanfaat namun kurang diminati dan sangat sedikit sekali dibaca?
Jadi, perbanyaklah membaca buku fiksi, mulai dari komik hingga novel, dari fiksi roman hingga fiksi ilmiah, fiksi apapun itu. Dengan membaca buku-buku tersebut kita akan mendapatkan sesuatu daripada hanya menelan begitu saja apa yang diberikan di sekolah tanpa benar-benar memahaminya. Selain itu, kita juga akan menambah pengetahuan umum kita.
Sekian dari saya dan terima kasih.


Shelyna Vialli
XII IPS 3
26

SMA Tarakanita 2
2008 / 2009



1 comment:

Mike said...

Pak B ngomong apa tuh...