Sunday, February 1, 2009

Tugas Sejarah

Oasis – Cahaya Ilahi di Pegayaman
Metro TV
Sabtu, 29 September 2007
12.30 WIB
-----------------------------------------------------------------------------------------
Kampung Pegayaman, yang terletak di Sukasada, Buleleng, Bali merupakan potret unik dari sebuah kampung muslim. Kampung ini meski berada di tengah-tengah warga Bali yang mayoritas beragama Hindu, tetapi mampu membangun kehidupan yang harmonis dengan lingkungan sekitarnya. Pada bulan Puasa, biasanya warga muslim Pegayaman mengundang tetangga-tetangga mereka yang beragama Hindu untuk ikut berbuka puasa. Yang unik lagi, nama-nama warga muslim Pegayaman umumnya masih menggunakan nama yang secara antropologis menunjukkan warga Bali, seperti Nyoman, Kadek, Ketut, dan lain-lain. Bahkan, untuk ritual keagamaan terdapat percampuran antara adat Bali dan agama Islam. Harmoni di Pegayaman ini membuktikan bahwa agama mampu mendukung terbinanya kerukunan, di tengah besarnya aneka perbedaan di Bali.
Potret kampung muslim mudah ditemui di Pegayaman, yang terletak di kecamatan Sukasada, kabupaten Buleleng, provinsi Bali. Wilayah dengan 5000 jiwa didalamnya dan 90% beragama Islam hidup rukun dengan kampung-kampung sekitarnya yang mayoritas berpenduduk agama Hindu. Sejarah berdirinya Pegayaman juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah kota Singaraja, pusat pemerintahan kerajaan Buleleng yang beragama Hindu lebih dari 300 tahun yang lalu.
Para pemukim awal Pegayaman adalah orang-orang Jawa Muslim yang dikirim oleh Keraton Buleleng menyusul kemenangan Raja Kerajaan Buleleng Panji Sakti dalam perang melawan Kerajaan Pelambangan di Banyuwangi pada abad ke 17. Kemenangan inilah yang menurut Wayan Imam Muhajir, tokoh masyarakat Pegayaman mengawali kisah datangnya Islam di Buleleng hingga nantinya orang-orang muslim itu dipindahkan ke daerah hutan Pegayaman. Waktu itu didengar bahwa Raja Mataram diajak untuk musyawarah bersama bagaimana sehingga dia tidak akan mengadakan peperangan lagi, yang waktu itu Raja Panji Sakti itu diberikan hadiah waktu itu berupa baja yang diantarkan oleh beberapa prajurit; sampai di Buleleng, beberapa prajurit itu diberitahu oleh Panji Sakti bahwa sekarang mereka sekalian ini bukan lagi siapa-siapa tapi adalah sebagai keluarga mereka.
Sebagai desa yang berbukit yang berbentuk memanjang, Pegayaman menyerupai benteng alam yang kokoh, melindungi wilayah Buleleng yang subur sepanjang pantai utara pulau Bali. Dalam sejarahnya, desa Pegayaman memang didirikan sebagai benteng Buleleng menghadapi serangan yang berasal dari kerajaan Hindu di wilayah selatan pulau Bali. Mungkin pertimbangan benteng ditaruh disini secara strategi kemiliteran yaitu untuk menjadi penangkal atau pelindung Buleleng dari daerah selatan.
Sisi menarik lainnya yaitu latar belakang warganya, warga Pegayaman generasi pertama adalah orang-orang muslim dari Jawa kemudian menyusul orang Bugis dan orang dari pulau Bali sendiri yang beragama hindu. Dari nenek moyang mereka, baik dari yang Jawa dan dari Bugis adalah muslim, kemudian pada tahun 1963 dimana pada saat itu Gunung Agung meletus di Karang Asem dan dari situ banyak pengungsi dari sana pergi kemana-mana termasuk mengungsi ke Pegayaman.
Potret keberagaman di Pegayaman terlihat dari desa Amartasari, sebuah wilayah di Pegayaman yang kini berstatus menjadi sebuah desa adat. Warga bali beragama Hindu di dusun Amartasari ini menjalankan hidup mereka dengan baik yang tampak dalam pertemuan rutin. Pertemuan rutin tersebut menurut Gede Lingga, tokoh agama Hindu, diadakan untuk membicarakan masalah-masalah sosial kemasyarakatan selain terkait dengan persiapan mengelar upacara-upacara keagamaan. Tentang kerukunan untuk dua agama yang ada di desa pegayaman tersebut, mereka sangat rukun dan sangat akrab, misalnya kalau seperti Gede Lingga mengadakan upacara keagamaan, dia mengundang aparat desa, dan mereka datang, kemudian kalau hari raya lebaran, Gede Lingga diundang kemudian dia datang, kemudian di Pegayaman ada yang disebut buda dan adrah, yang kalau diperlukan dapat dipinjam demi kepentingan bersama di Pegayaman.
Keberagaman di Pegaymaan yang bertahan selama lebih dari 300 tahun sering kali mengungkap pertanyaan menarik, mengapa identitas Islam bisa bercampur dengan identitas Bali yang bercampur dengan agama Hindu secara nyaris sempurna. Ketut Agus Asygor, ketua lembaga kemasjidan di Pegayaman menjelaskan bahwa orang Pegayaman meski memeluk agama Islam tetap menganggap dirinya sebagai orang Bali. Orang hindu menjadi saudara orang Islam dan orang Hindu menganggap orang Islam sebagai saudara mereka sehingga tidak menimbulkan konflik, saling singgung atau permasalahan yang menimbulkan perpecahan. Panggilan saudara yang ditujukan bagi kelompok yang satu dengan kelompok yang lain berarti bahwa hubungan mereka sangat dekat. Begitulah, saudara sesama muslim dan saudara sesama orang Bali merupakan produk akulturasi budaya yang terbentuk selama ratusan tahun. Akulturasi budaya itu berhasil membentuk identitas budaya warga Pegayaman yang muslim untuk hidup bersama secara damai bersama saudara mereka sesama orang Bali yang beragama Hindu.
Agama Islam di Pegayaman diajarkan mulai dari anak-anak hingga orang dewasa secara berkesinambungan dalam waktu ratusan tahun sehingga menghasilkan tradisi Islam yang kuat dalam masyarakat yang kuat dalam masyarakat Pegayaman. Di kampung muslim ini, masjid selalu tampak ramai digunakan umat yang beribadah. Kegiatan mengaji menjadi kegiatan yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari anak-anak. Guru mengaji memiliki status tinggi di desa Pegayaman karena bertanggung jawab dalam mendidik moral anak-anak. “Kadang-kadang dari kecil, kita punya anak, kita serahkan ke guru ngaji, saya antarkan. ‘Saya kesini mengantarkan anak saya memohonkan barokah ilmu untuk menyerahkan anak saya, mohon diajarkan mengaji’. Saya serahkan, dalam istilah orang Bali disebut serah matah. ‘Bagaimana terserah pak guru, apapun yang bapak inginkan anggaplah itu anak bapak sendiri’.”
Bentuk akulturasi terlihat jelas dalam kegiatan belajar membaca Al-Quran pada anak-anak di desa Pegayaman ini. Para guru mengajarkan anak-anak mengaji sebagai proses untuk dapat membaca Al-Quran dengan bantuan bahasa Bali. Cara mengaji dengan bantuan bahasa Bali ini sangat penting karena khas Pegayaman, jadi untuk mempermudah dan agar rasanya tidak terlalu asing maka di dalam pembelajaran Al-Quran itu, untuk mengerti bagaimana cara membaca dan mengeja huruf-hurufnya serta nadanya, digunakan bahasa Bali.
Sisi menarik lainnya dari Pegayaman adalah berkembanganya kesenian buda. Kesenian yang diadaptasi dari kesenian Islam timur tengah ini berkembang subur di Pegayaman. Para peseni buda ini melantunkan syair-syair yang berisi sejarah hidup Nabi Muhammad SAW dan puji-pujian pada nabi yang menjadi panutan tiap muslim. Kesenian buda Pegayaman juga merekam akulturasi budaya dalam bentuk yang sangat unik. Akulturasi dalam kesenian buda mencerminkan bertemunya pengaruh tiga budaya dalam budaya muslim Pegayaman yaitu budaya Bali, Jawa, dan Bugis. Dalam cara berpakaian juga terlihat, kalau atasannya itu dasarnya adalah berasal dari Mataram dan Yogya, maka menunjukkan dimana warga Pegayaman juga berasal dari Yogya dan Mataram, kalau dari bajunya atasan begitu pula bawahannya adalah dari Makassar, maka itu adalah pakaian Bali.
Bagian terpenting dari potret Islam di Pegayaman dengan umat Hindu di Buleleng terjadi ketika hari Maulud Nabi Muhammad SAW dirayakan. Selain dirayakan secara meriah, perayan Nabi Muhammad SAW di Pegayaman sekaligus menandai status unik umat Islam di Buleleng. Dari tahun ke tahun, keluarga Puri Agung Buleleng selalu menghadiri perayaan Maulud Nabi di Pegayaman, kehadiran para bangsawan dan pemuka Hindu yang berasal dari Puri Agung Buleleng ini menandai hubungan istimewa antara warga muslim Pegayaman dangan Puri Agung Buleleng. Saudara sesama mulim dan saudara sesama Bali sesungguhnya adalah perwujudan sejarah masuknya agama Islam di Bali 300 tahun yang lalu, yang berlangsung dalam suasana rukun dan damai. Warisan berupa hubungan yang rukun dan damai antara warga muslim dan Hindu itu masih utuh bertahan hingga hari ini.
Kesenian adrah menjadi sangat istimewa karena digelar pada hari pertama bulan Ramadhan tahun ini. Uniknya anak-anak panti asuhan pegayaman ini dengan terampil dan semangat melantunkan lagu happy birthday dengan iringan musik adrah. Anak-anak panti asuhan ini juga mahir melantunkan lagu-lagu berbahasa Arab. Adrah Pegayaman sering kali menjadi bagian penting dari ritual keagamaan dan kesenian ini digemari mulai dari anak-anak hingga dewasa. Pada setiap kegiatan-kegitaan keagaman itu tidak dapat lepas dari penampilan dari kesenian itu sehingga merupakan kesempurnaan, pelengkap dari kegiatan-kegiatan ritual yang ada di desa tersebut tanpa ada kesenian ini akan tidak menjadi sempurna.
Terawih pertama bulan Ramadhan di Pegayaman seperti tahun-tahun sebelumnya berlangsung hikmat, sisi unik dari kegiatan Terawih ini terkait dengan jadwal Terawih. Bagi kaum perempuan, Terawih berlangsung lebih awal yaitu selepas shalat Imsak. Terawih kaum pria di Pegayaman memiliki ciri unik dan merupakan lanjutan dari tradisi yang berlangsung ratusan tahun, Terawih yang digelar di masjid ini digelar pada pukul sepuluh malam. Menurut cerita para tetua di Pegayaman, Terawih yang dimulai menjelang tengah malam ini banyak terkait dalam kehendak menjadikan Terawih salah satu sarana menjaga persatuan. Kenyataannya, hingga hari ini di Pegayaman, hanya ada satu masjid yang salah satu fungsi utamanya adalah menjaga keutuhan warga muslim Pegayaman.
Setelah Terawih berakhir, para tetua Pegayaman akan menceritakan garis pertama Ramadhan yang akan berlangsung hingga tengah malam. Memahami tentang bagaimana pengetahunan dasar mengenai misalnya membaca Al-Quran itu dipikirkan dimana kekurangan kita, sehingga tidak heran kalau sewaktu-waktu ada anak murid datang ke tempat guru mungkin menanyakan mengenai hal-hal yang diragukannya tentang ibadah.
Menjelang subuh, warga Pegayaman memulai sahur. Bulan Ramadhan ini bagi warga Pegayaman khususnya anak-anak muda, menjadi waktu dimana mereka mendirikan sebuah warung sederhana yang akan menjadi tempat berkumpul bersama saat malam hari. Bagi anak muda, selain Masjid dan Musholla, dari warung inilah suasana Ramadhan pada malam hari dihidupkan. Selepas Maghrib tiba, buka puasa dimulai. Kegiatan pada bulan Ramadhan disana berlangsung sederhana namun terasa hikmat.
Islam telah membimbing dan menengahi berputarnya roda kehidupan di Pegayaman selama ratusan tahun. Islam juga meneguhkan keyakinan warga Pegayaman untuk hidup berdampingan secara damai dengan saudara-saudara mereka yang beragama Hindu. Islam yang menurut artinya sebagai agama keselamatan, di Pegayaman sebenarnya tidak ada dampak-dampak atau pemikiran-pemikiran yang mengarah pada pembedaan terhadap agama lain, selama ini yang penting adalah membawa kemasyarakatan bagi bersama. Islam hadir membimbing dan membawa semangat kebersamaan di Pegayaman. Cahaya Ilahi telah menerangi Pegayaman selama ratusan tahun, menerangi hati dan menebarkan semangat persaudaraan dan kerukunan.
Analisis
Islam di Pegayaman dapat diterima dengan baik dan mudah adalah karena Islam datang dan berkembang secara damai di Pegayaman. Hal tersebut juga ditunjukkan dengan betapa rukunnya masyarakat Islam disana dengan masyarakat Hindu di sekitarnya, mereka bahkan menganggap satu sama lainnya sebagai saudara yang menunjukkan betapa mereka tidak membedakan satu sama lainnya hanya berdasarkan agama. Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan keadaan di beberapa daerah lainnya dimana umat Islam tidak dapat hidup rukun dengan umat agama lainnya, hal ini membuat kita menjadi sulit memahami bagaimana Islam yang sebenarnya hingga ada pertanyaan mendasar di pikiran kita, yaitu apakah Islam mengajarkan kebaikan seperti yang sudah seharusnya sebuah agama ajarkan atau mengajarkan kekerasan yang ditunjukkan dengan banyaknya pe-jihad yang nyatanya bisa dikategorikan sebagai teroris?
Masyarakat Islam di Pegayaman menunjukkan bahwa mereka sama sekali berbeda dengan pandangan beberapa orang mengenai Islam bahwa betapa umat Islam sangat muluk dan kolot dalam menganut agamanya. Umat Muslim di Pegayaman tidak mengagungkan agamanya sendiri, mereka tidak menganggap agamanya sebagai agama yang paling benar dari semua agama yang ada, mereka bahkan dengan rendah hati tidak menganggap diri mereka hanya sebagai kaum Muslim namun juga sebagai kaum Bali dan mau mengundang kaum Hindu dalam perayaan keagamaan mereka sehingga disana tidak timbul perpecahan, konflik, permusuhan antar kelompok agama seperti yang terjadi di daerah-daerah lainnya.
Dapat dimengerti mengapa guru mengaji di Pegayaman sangat dihormati, mereka merupakan salah satu sarana bagi orang-orang untuk dapat lebih mengenal dan memahami Islam di daerah tersebut, bahkan orang-orang hingga mempercayakan anak-anaknya kepada guru mengaji hingga pada tahap ‘menyerahkan’ anak mereka pada guru mengaji agar menganggap anak mereka sebagai anaknya sendiri. Hal tersebut menunjukkan betapa masyarakat Islam di Pegayaman menganggap bahwa dapat membaca Al-Quran merupakan hal sangat penting, memperlihatkan bahwa mereka sangat memperhatikan kelangsungan agama mereka pada masa berikutnya dan terus mempertahankan tradisi membaca Al-Quran dalam bahasa Arab.
Selain belajar dari guru mengaji, umat Islam terutama anak-anak juga dapat belajar lebih dalam mengenai Islam melalui kesenian yang ada. Kesenian disana mengajarkan agama Islam dengan cara yang menyenangkan sehingga lebih mudah dimengerti dan juga dengan kesenian tersebut, umat satu sama lain dari satu agama maupun agama yang berbeda dapat menjalin hubungan yang lebih dekat dan kuat.
Kesederhanaan masyarakat Islam, ditunjukkan salah satunya dengan hanya terdapatnya satu masjid sederhana disana, hal tersebut sangat sesuai dengan ajaran Islam yang memperbolehkan umatnya beribadah dimana saja dan kapan saja. Selain itu, hal tersebut juga menyimbolkan betapa walaupun mereka hanya memiliki satu masjid, mereka benar-benar mengunakannya untuk beribadah dan sebagai simbol dari persatuan mereka. Kesederhanaan di Pegayaman ini seperti mencemooh daerah-daerah lain yang memiliki masjid-masjid besar dan megah namun sama sekali tidak digunakan seperti yang seharusnya, bahkan ada yang hanya digunakan untuk menunjukkan kemegahan Islam, namun tidak menunjukkan bahwa Islam juga mengajarkan kesederhanaan yang tulus, bukan megah tapi sia-sia.
Dengan kepribadian masyarakat Islam di Pegayaman yang benar-benar terbuka seperti yang seharusnya, Islam diterima dengan tangan terbuka oleh masyarakat Hindu. Diantara keduanya terlihat seperti tidak ada perbedaan sama sekali, mereka benar-benar menyadari bahwa mereka berbeda satu sama lain dan saling melengkapi kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Kesimpulan
Dengan banyaknya anggapan bahwa Islam merupakan agama yang mengajarkan kekerasan, dengan melihat kehidupan di Pegayaman, hal tersebut dapat dikatakan bahwa tidak sepenuhnya benar dan ditunjukkan dengan betapa Islam dapat hidup rukun berdampingan dengan umat Hindu, karena sesuatu yang datang dengan damai seharusnya berjalan dan berkembang dengan damai pula.
Walaupun agama Islam berbeda dengan agama Hindu begitu juga adat masing-masing agama berbeda, bila mereka dapat menerima perbedaan yang ada dengan terbuka dan mau menerima keberadaan satu sama lainnya serta menjadikan perbedaan yang ada sebagai pelengkap satu sama lain seperti yang terjadi di Pegayaman, maka umat beragama berbeda satu sama lainnya dapat hidup berdampingan dengan rukun, akrab, dan damai, tanpa perlu menimbulkan konflik ataupun perpecahan yang nantinya malah merugikan masing-masing pihak.
Analisis
Semakin lama Islam tersebar dan berkembang, semakin maju pula pembangunan masjid di Indonesia. Dari masa ke masa, arsitektur masjid terus berkembang. Dana yang digunakan untuk pembangunannya makin basar, unsur tipologi bangunannya makin menonjol, material yang digunakan kualitasnya makin baik, sehingga tak urung masjid yang ada makin megah bangunannya. Jika dihubungkan dengan teori faktor intern yang menyatakan bahwa Islam mudah diterima masyarakat karena penyebarannya terbuka dan juga damai, hal ini terbukti. Karena dengan makin terbukanya ajaran Islam, berarti makin banyak orang yang beragama Islam. Karena mereka semua damai, mereka pasti berinteraksi dengan baik. Makin banyak orang Islam, makin damai mereka, mereka membutuhkan sarana beribadah yang layak, juga tempat silaturahmi antar masing-masing umat. Mereka membutuhkan masjid. Kenapa pemerintah mendirikan masjid? Mungkin saja karena mereka tahu sudah banyak orang muslim, dan akan makin banyak orang akan menjadi muslim jika masjid didirikan karena berarti Islam menyediakan sarana berkomunikasi dengan Allah, juga bisa menyejahterakan masing-masing umat manusia.
Tapi, di balik itu ada hal yang patut dipertimbangkan, mengapa bangunan Islam yang dibangun makin megah? Masjid Istiqlal menghabiskan dana Rp 7 miliar dan US$12.000.000 untuk pembangunannya. Bukannya salah satu faktor ekstern mengatakan bahwa umat Islam bias menjalankan kegiatan ibadahnya dengan mudah, sederhana, dan dimana saja? Mengapa bangunan Islam makin megah? Bukankah yang terpenting adalah umat bisa menjalankan ibadah dengan sederhana namun tulus?
Dengan bangunan masjid yang sangat megah seperti itu, tidakkah akan menimbulkan suatu tanda tanya besar dalam pikiran bahwa sesungguhnya Islam hanya mau menunjukkan / mengagungkan kemegahannya sajakah ataukah Islam ingin menunjukkan bahwa dibalik bangunannya yang megah, ajarannya sendiri itu pun memang adalah sesuatu yang megah ataukah umat Islam sendiri ingin menunjukkan bahwa Tuhannyalah yang paling agung kepada umat agama lain yang ditunjukkannya melalui kemegahan bangunan beribadahnya, menunjukan dominansinya?
Selain itu, sudah seharusnya bangunan beribadah menjadi sesuatu yang sakral dan khusus, namun bagaimana sebuah bangunan beribadah menjadi khusus apalagi sakral, sekalipun bangunan beribadah tersebut merupakan bangunan beribadah untuk agama yang dianut mayoritas penduduk, ketika bangunan tersebut sekaligus digunakan untuk memamerkan betapa hebatnya suatu negara dalam membuatnya, menjadi simbol kesuksesan suatu negara dalam merebut kemerdekaan, dan bukankah bangunan beribadah dibuat untuk umat agar dapat beribadah dan dapat lebih dekat kepada Tuhannya, bukan untuk memamerkan betapa hebat Tuhannya melalui bangunan megah tersebut?
Kesimpulan
Dengan semakin megahnya bangunan masjid, seharusnya umat muslim semakin taqwa akan kebesaran Allah SWT, dan bukannya malah membelokkan niat seseorang yang datang ke masjid semata-mata hanya untuk Allah.
Semakin megahnya suatu bangunan masjid, belum tentu hal yang seharusnya menjadi tujuan utama dibangunnya sebuah masjid ada dan dijalankan, bukan berarti dengan megahnya suatu bangunan, sesuatu ada ‘didalam’ juga megah seperti yang tampak dari luar.
Meskipun suatu bangunan ibadah terlihat megah, seharusnya tanpa kemegahan itu sendiri, bangunan tersebut sudah terlihat megah dengan sendirinya tanpa ornamen-ornamen mahal yang menghiasinya hingga megah, karena bukan kemegahan mahal itu yang seharusnya dipandang dan dipamerkan namun kemegahan dari bagaimana umat benar-benar mampu menggunakan bangunan ibadah tersebut sesuai dengan seharusnya, bukan untuk hal-hal duniawi apalagi dalam politik.

No comments: